Rabu, 13 April 2011

matriks, lakaran minda-ku..

Betapa inginku diami sebuah daerah
seindah lakaran minda
Dunia anganan yang damai terlalu sempurna
Bagaikan gambaran syurga
Kesantunan murni menjadi wiritan
Segalanya tunduk dalam ketaatan

Semua manusia merasa dirinya bersalah
Dan lantas memohon ampun
Mendermakan harta sehingga tiada siapa
Yang sudi menrimanya
Tiada terdengar tangis kelaparan
Tiada sengketa peperangan

Kupadamkan mentari kehangatan
Kunyalakan bulan kegelapan

Bebintang kusentuh kupetik
Kutabur di jalanan
Menjadi lampu alam
Berkelip kelipan

Anak-anak minta dipukul
Kerana merasa sakitnya ibu melahirkan
Para isteri memukul diri
Kerana merasa diri derhaka pada suami

Keluarga bagai syurga disegerakan
Para suami rela akui kelemahan

Begitu indahnya dunia mimpiku
Dapatkah kubawa dalam realitiku

Lirik nasyid asal Malaysia ini telah menginspirasi aku & teman2 (sikut Ena) untuk punya impian indah di masa datang nanti. Ya kurang lebih kondisi keluarga dan lingkungan masyarakat ideal seperti di lirik itu lah, yang akhirnya sedikit menghasilkan mimpi yang ternyata (harusnya) bisa juga terealisasi di dunia.

Awalnya tahun 2007, teman-teman di lingkungan rumah dengan lingkup kecamatan seringkali mengadakan bakti sosial kepada masyarakat, bisa berupa pelayanan kesehatan, pembagian sembako, peralatan tulis, perlombaan anak-anak, bazzar murah dan lain-lain dengan titik lokasi yang berpindah-pindah. Namun kegiatan yang positif ini masih aku rasa kurang efektif, karena warga hanya merasakan manfaat berupa uang dan barang sesaat tanpa tindaklanjut. Menurutku ini adalah lahan untuk menjangkau masyarakat penerima bantuan untuk lebih maju dan mengenal Islam. Ketika hal ini kusampaikan kepada teman-teman panitia dan aku menawarkan program-program tindak lanjut, sepertinya kurang mendapat respon yang baik. Mungkin mereka sedang lelah memikirkan kegiatan-kegiatan baksos selanjutnya.

Akhirnya ide ini aku tawarkan kepada teman-teman dekat yang aku yakini memiliki kegelisahan yang sama (saahhhh… ). Untuk lebih memvisualisasikan ide ini aku buatkan konsep proposal kepada mereka. Semangat, terinspirasi lagu lakaran minda tadi dan membawa ide dusun binaan BEM FE dulu akhirnya aku bentuk lembaga bernama MATRIKS, kepanjangan dari Masyarakat Pencinta Generasi Kreatif dan Sholeh. Artinya ini adalah kumpulan orang-orang yang peduli kepada masyarakat untuk lebih cerdas dan terdidik secara berkelanjutan.

Program yang aku tawarkan adalah program beasiswa bagi anak asuh berprestasi, taman pendidikan alquran gratis, taman bacaan, pembinaan remaja, pengajian ibu-ibu yang diutamakan orangtua anak asuh dan murid TPA, serta pembinaan ekonomi. Dana yang didapat adalah dari donatur rutin masyarakat yang mungkin diawal adalah dari teman-teman kita ini (hee…) baik berupa uang (kami terima mulai dari 10ribu perbulan hingga tak terbatas) atau barang (alat tulis misalnya) ataupun donatur insidental yang biasanya ramai di bulan Ramadhan. Kelebihan dari program ini adalah, kami tidak perlu mencari peserta karena telah terdata pada teman-teman panitia baksos lalu dan sudah kami kenal, tinggal kita datang blok tempat tinggal keluarga-keluarga ini lantas jalani program.  

Mengenai dana, ingin rasanya aku tidak membebani teman-teman yang nantinya akan bekerja menguras tenaga dan pikiran, namun aku belum menemukan model lembaga hukum seperti apa yang bisa membuat donator-donatur besar atau lembaga percaya kepada kami, sedangkan untuk membuat yayasan dibutuhkan dana 6juta rupiah.. dooohh… oleh sebab itu sambil menunggu perkembangan kami coba dulu jalani program-program ini dengan dana yang ada.

Teman-teman terlihat antusias dan setuju, mereka siap membantu sesuai dengan apa yang mereka bisa. Sebagai langkah awal terkumpul dana 385ribu rupiah dari teman-teman dan sumbangan buku dari PKS kecamatan larangan. Ditambah dengan dana zakat profesi (setelah aku berkonsultasi dengan seorang ustadzah tentang dibolehkannya pemanfaatan zakat bagi lembaga ini) akhirnya dimulailah proyek ini.

Ku gunakan dana awal itu untuk membeli lemari buku dan peralatan TPA (meja, buku Iqro, buku tulis, alat mewarnai dsb). Sebelumnya aku meminta izin kepada tetangga yang juga membuka pengajian anak-anak, aku menginformasikan bahwa TPA yang akan didirikan ini adalah berorientasi social dan tidak akan mengganggu kepesertaaan TPA milik tetangga tersebut. Beliau memahami. Alhamdulillah.

Alhamdulillah program pertama, TPA, setiap hari senin-kamis jam 18.30-19.30, diasuh oleh dua kakakku bisa berjalan. Sedangkan aku tidak bisa membantu operasional, karena baru sampai dirumah jam 7-8 malam, padahal sih karena tidak bakat mengajar anak-anak, hee…

Program selanjutnya adalah pengajian ibu-ibu. Hufft.. agak berat sih, karena ini debut pertama, aku mengajak ibu-ibu yang jauh lebih tua dari aku, dan biasanya mereka telah mengikuti pengajian mingguan di Masjid, ada kekhawatiran mereka mencurigai undangan kajianku.

Pertemuan pertama diagendakan membaca alquran dan taklim dengan mengundang Ustadzah Ratmi kerumah. Belum banyak pesertanya, tapi Alhamdulillah, mereka tertarik dan aku sudah cukup puas mendobrak kekhawatiran selama ini, heee..

Selanjutnya adalah program anak asuh, sebagai sasaran pertama aku memilih Wahyu, tinggal di ujung gang, orangtuanya memiliki banyak anak, wahyu sebagai putra pertama telah putus sekolah sejak SMP. Saat penawaran itu, orang tuanya memang terkesan tidak terlalu antusias, namun mereka bersedia memberikan dukungan bila kami mau menyekolahkan Wahyu. Langkah selanjutnya aku mencari sekolah gratis yang dekat, agar bisa menghemat transport. Setelah searching, telepon sana-sini, survey ke sekolah-sekolah, akhirnya kami memilih sekolah binaan BaytulMall di jurangmangu. Subhanalloh dari proses pemilihan sekolah ini aku banyak mendapat pelajaran baru. Ada sekolah di atas panggung yang aku temui di daerah bintaro, yang belajar di tengah alam. Siswanya banyak terdiri dari pedagang di sekitar bintaro (yang ternyata masih usia sekolah. Sekolah ini juga menyediakan komputer dan peminjaman sepeda. Namun karena jarak, kami tidak memilih sekolah ini untuk Wahyu.

Kebutuhan Wahyu  untuk sekolah kami penuhi, peralatan sekolah, seragam dan transport, namun sayang kegiatan ini tidak bisa berjalan lama, karena Wahyu tidak mau sekolah lagi, sering bolos dan tidak mau mengikuti TPA. Akhirnya belum sampai setahun program ini terhenti.

Namun tidak hanya Wahyu, kami pun memberikan santunan kepada anak-anak berprestasi dan tidak mampu di wilayah sekitar, namun hanya dalam bentuk santunan bulanan dan tetap mengikat mereka untuk ikut pembinaan pekanan.

Program selanjutnya adalah program dua pekanan pembinaan bagi remaja. Pesertanya adalah anak usia diatas murid TPA untuk dibina lebih intens, namun yang lebih sering dating tidak jauh berbeda dengan murid TPA pula, hehehe... Biasanya berlokasi di Masjid Nurul Amal dan dibimbing oleh rekan-rekan mentor yang nantinya  peserta diarahkan menjadi remaja Masjid aktif.

Sedangkan program terakhir yaitu pembinaan ekonomi, masih dipikirkan, kegiatan produktif apa yang cocok dan prospek bila dilakukan oleh Ibu-ibu.

Selain itu masih ada kegiatan-kegiatan yang kami lakukan bersifat tahunan dan incidental, misalnya outbond anak-anak, rihlah (rekreasi) keluarga, kegiatan ramadhan, penyaluran zakat, infak, dan fidyah masyarakat.

***

Hingga tahun 2011 ini, program telah berjalan kurang lebih empat tahun.  Sejak setahun lalu aku sudah tidak tinggal di daerah Larangan lagi. Kegiatan dipimpin dan dilakukan (sebagian besar sendiri) oleh sahabatku mba Sri, hmm.. maafkan aku mba…

Donasi pun belum bisa berjalan lancar, aku memahami ini, karena mungkin para donator punya kebutuhan lain, apalagi tenaga dan pikiran mereka turut tersumbang bagi program-program Matriks.

  • Kegiatan TPA sudah dibubarkan, :( . hal ini terkait dengan tidak tersedianya tempat dan pengajar. Rumahku sudah dijual dan kami sudah pindah dari sana, dan memang sejak TPA berjalan tidak ada tenaga pengajar yang bersedia mengajar rutin seperti kakakku. Sungguh amat disayangkan harus melepas anak-anak yang antusias belajar. Semua peralatan dan sarana dipindahkan ke rumah mba Sri.
  • Taman Bacaan memang tidak pernah dibuka secara resmi, karena ketiadaan tenaga penjaga pada siang hari. Jadi,  biasanya buku-buku hanya dibaca saat TPA aktif, sambil menunggu, anak-anak bisa membaca.
  • Santunan belum bisa berjalan lagi, karena kami tidak berani memberikan santunan rutin bila donasi tidak bisa dipastikan rutin pula. Apalagi terkait dengan ditiadakannya pembinaan bagi remaja karena tak ada kakak-kakak pembinanya. Miris. Padahal asset produktif nih.
  • Kegiatan yang berjalan sangat baik adalah taklim ibu-ibu, diadakan seminggu sekali. Kami sudah memiliki dua basis massa (halaah bahasane…). Jalan gotong royong dan gang buntu. Insya Alloh ibu-ibu sudah cukup solid. Semula diadakan bergantian di rumah salah satu ibu di gang buntu, namun sekarang telah rutin di adakan di rumah mba Sri. Dengan agenda yang jelas dan familiar, ibu-ibu telah dirangkul dengan baik. Kegiatan ekonomi pun mulai berjalan, sempat ada penawaran program sulam pita dengan system komisi (bener ngga mba) dari seorang teman yang memproduksi barang-barang rumahtangga kerajinan tangan, trus apa lagi mba? hee.. ketauan ga update sekarang.
Masih perlu banyak pembenahan di berbagai sisi, tapi saat ini aku masih belum bisa berbuat banyak. TPA membutuhkan tempat dan pengajar, beasiswa memerlukan dana, bimbingan memerlukan mentor, Taman bacaan memerlukan tempat dan tenaga, begitu pula dengan taklim ibu-ibu, membutuhkan tenaga. Keinginanku sih semua dikelola dengan professional, penyewaaan tempat khusus (tidak menumpang) dan pemberian insentif bagi SDM yang terlibat. Namun saat ini belum bisa dilakukan, selain karena factor dana juga SDM pengelola.

Mungkin masih mimpi untuk menyempurnakan ini semua. Semoga  terbentuknya sebuah yayasan, tersuplainya dana secara rutin dan SDM pengelola yang cukup bisa segera terwujud.

Saat ini akupun baru hanya bisa mensupport mba Sri untuk terus semangat membina ibu-ibu dan berkali-kali meminta maaf karena belum juga bisa membantu atau bahkan datang kesana. Padahal ibu-ibu masih rajin hubungi aku, sms dan telepon.. hiks…

Terimakasih, Jazakumullaoh khoir katsir teman-teman dan/atau donatur yang sudah membantu, baik dana, tenaga maupun pikiran selama ini, semoga Alloh mengganti dengan yang lebih baik dan lebih banyak
Ya Alloh ridhoi mimpi-mimpi kami… amin.

Sabtu, 02 April 2011

menunggu kehilangan

Tak akan ada yang bisa lepas dari kematian, misterinya hanya Alloh yang Tahu dan Maha Menentukan.  Kita pasti akan bertemu dengan kematian, entah kapan dan dengan cara apa. Bila belum bertemu dengan kematian, bisa jadi kita akan berhadapan dengan kematian orang-orang terdekat yang kita cintai. Sehingga meninggalkan dan ditinggalkan adalah hal biasa dalam hidup, yang terpenting adalah mengisi bekal terbaik untuk kehidupan setelah kematian.

Aku termasuk orang yang paham teori ini, sudah lama… tapi tak mengira bila harus aku yang mengalami kejadian ini.  Sampai ditinggal Ibu, 1,5 tahun yang lalu, hampir tak percaya, tak sadar dan hampir tak bisa menerima kenyataan bila kematian tidak milik orang lain saja, aku juga…

Agustus 2009, awal mulai mengerti pelajaran kematian ini. Saat itu aku harus berada di rumah sakit dan ruangan bernama Ruang Tunggu ICU. Hari pertama datang aku hanya menangis melihat ibu didorong  tak berdaya diatas ranjang dengan berbagai selang dipasang di tubuhnya untuk kemudian masuk ke ruang ICU, kami tidak boleh masuk. Aku dan keluarga, hanya menangis sambil sesekali dihibur oleh kerabat yang datang. Aku melihat di selasar lorong banyak keluarga penunggu pasien, karena tidak muat lagi berada di dalam ruang tunggu. Setiap keluarga hanya dibatasi tas atau perbedaan alas duduk. Aku melihat mereka yang kebingungan melihat kami yang sedang histeris, seakan-akan mereka tahu apa yang aku rasakan dan mengatakan “selamat datang di dunia nyata ini, sayang…”

Karena jam besuk yang terbatas (jam 12-13 dan jam 19-20) dan ada panggilan sewaktu-waktu dari petugas medis maka kami sekeluarga harus siaga dan bergantian menunggu diluar ruang ICU. Akhirnya kamipun menjadi bagian dari barisan selasar rumah sakit. Kami menggelar tikar panjang, ada tas sebagai bantal, jaket, minum dan sedikit makanan. Pada satu waktu kami bisa saja maju beberapa petak porselen karena ada keluarga pasien yang pindah atau bahkan mengangkat seluruh perangkat karena ada razia dari manajemen rumah sakit.

Dari pengalaman ini aku baru mengerti apa yang dimaksud ruang ICU itu, telat ya… boleh dikatakan, ICU ini ruang yang paling menegangkan, semua perawat difungsikan maksimal, karena kekritisan kondisi pasien, sedang disebelahnya ada ruang Intermediate ICU (lupa apa sebutannya), pasien yang dirawat lebih ringan tingkat kekritisannya dan boleh dijenguk keluarga tanpa dibatasi jam, kecuali pengunjung non penunggu tentu saja dan... pasien yang dirawat masih  memiliki tingkat kesadaran yang lebih baik dari pasien ICU.

Hari-hari pertama aku berada disana, ada kejadian yang membuat aku kaget.. tiba-tiba ada ranjang keluar dari ruang ICU, pasien ditutup selimut, meninggal. Keluarga sebelahku berbisik.. “itu pasien di bangsal sekian.. iya, yang sakit…, sudah beberapa hari..hhuuufftt..” tak lama kemudian kami bergeser pindah tempat karena ada keluarga yang pergi dan membereskan peralatannya, rupanya keluarga pasien yang meninggal tadi.

Semakin lama, hal ini menjadi kebiasaan. Semua keluarga penunggu yang berada disana, harus bersiap dengan panggilan perawat yang mendadak, karena bisa jadi pasien dalam keadaan kritis. Sedangkan kami tak perlu khawatir bila dipanggil pada jam-jam tertentu yang dipanggil untuk diberi resep obat, yaitu sekitar jam 7.30 pagi atau jam 20.00 malam bila ada panggilan konsultasi dokter.  Selain jam-jam tersebut, kami hanya saling beradu pandang bila ada nama pasien yang disebut untuk memanggil keluarganya…

Pada saat jam besuk dibuka, seluruh keluarga telah mengantri di depan pintu ruangan dan mengambil baju khusus, rebutan pula. Dua jam perhari itu sangat kami manfaatkan untuk bertemu Ibu. Mengajaknya ngobrol, mendoakan atau sekedar memeluk dan menyentuhnya. Kadang ada perasaan enggan untuk masuk, kami tidak bisa menerima kenyataan melihat ibu tersiksa. Tubuhnya dingin, dipasang alat bantu pernafasan, belasan infuse dan bengkak di beberapa bagian. Namun. Inilah yang harus dihadapi, siapa yang akan menemui Ibu jika bukan kami, aku mencoba tegar dan terlihat biasa saat berkomunikasi dengan ibu, walau hati ini terasa pedih tersayat. Sedang kakakku kadang tidak sanggup, melihat ibu hanya menangis, lalu keluar, karena tidak ingin ibu melihat kami sedih lalu pesimis.

Di rumah malam harinya, aku selalu memikirkan ibu menanggung rasa sakitnya, sedang aku tidur dan makan dengan nyaman. Saat itu aktivitasku terasa hampa, tak bermakna, semua seperti berpura-pura. Makan terasa sakit di tenggorokan, kulit kering, sariawan dan tidak ada semangat kecuali untuk segera menemui Ibu.

Semakin lama, kami semakin akrab dengan sesama keluarga penunggu. Terutama yang memiliki masa tunggu yang sama. Posisinya semakin bergeser mendekat. Keakraban kadang diselingi canda, namun tetap miris, seperti terpaksa. Membicarakan keuangan dan biaya yang mahal, dan entah darimana kami mengusahakannya namun ada saja rezeki tersebut, yang dicandakan bahwa “uang yang ada dan bertebaran diruang tunggu ini tak akan hilang diambil, karena beraroma infuse dan obat…” , juga membicarakan keluarga dan kesehatan pasien masing-masing, ini yang biasanya membuat iri hati. Aku iri terhadap satu keluarga yang menunggu ayahnya di Intermediate, huuhh… sang ayah mengalami pendarahan di otak, diduga karena fisiknya terlalu lelah, kemungkinan karena ia adalah guru olahraga.

Diumpamakan pula istilah naik kelas/naik pangkat, yaitu bila pasien Intermediate berhasil pindah ke rawat jalan, atau pasien ICU berhasil pindah ke Intermediate atau langsung ke rawat jalan. Iri. Sedang Ibu termasuk pasien yang menghuni lama di dalam ruang ICU, kurang lebih 28hari.

Berbagai macam keluarga aku temui, banyak pelajaran berharga mengenai perhatian, kasih sayang, kesedihan dan pengorbanan keluarga.  Kami semua merasakan berada dalam kondisi ketidakjelasan dan terombang-ambing, namun tidak boleh lemah atau sakit. Seperti berdiri tegak sambil diiris-iris.

Satu waktu, pasien sebelah ibu, yang dalam keadaan koma, akhirnya meninggal dunia, seorang laki-laki keturunan, saat jam besuk aku sering melihat banyak pendeta (atau rahib ya? ) yang datang untuk mendoakan bapak itu. Keluarganya pun terlihat siap dengan kematiannya, ada yang mengatakan ingin segera berbagi warisan, namun aku pikir keluarga sudah pasrah karena sudah lama koma, sehingga terlihat biasa saja.

Lalu ada seorang laki-laki berusia 45an tahun. Tersenyum indah, istrinya lulus masuk ke rawat jalan. Ia bercerita istrinya memang sering sesak mendadak dan beberapa kali masuk keluar ruang ICU, namun Alhamdulillah menurut dokter kali ini bisa pindah ke ruang perawatan, semoga tidak masuk ke ruang menyeramkan ini lagi.

Penunggu disebelahku ada beberapa anak muda, katanya menunggu paman mereka yang organ pencernaannya sudah tak berfungsi, entah apa, aku pun kurang paham, sehingga diperlukan alat bantu. Sang Paman pun sudah dirawat lebih dahulu daripada Ibu. Tak berapa lama ia pun meninggal.

Kemudian ada pula seorang anak, mungkin usianya baru 12-13 tahun. Masuk ruang ICU karena kecelakaan motor, tidak memakai helm dan melawan arus. Kepalanya diperban dan memakai alat bantu pernafasan. Sang Ibu yang mendampinginya, tidak banyak berbicara pada kami, wajahnya terlihat tegang dan bingung. Yang aku dengar, suami nya belum lama meninggal dan ia masih memiliki satu anak lagi. Beberapa hari kemudian anak itu meninggal, sang ibu sering kali terlihat ada di tangga darurat, merokok.

Satu malam ada lagi seorang laki-laki masuk ke ruang ICU, di ruang ventilasi, keluarganya seorang perempuan ( istri ) dan dua anaknya yang masih kecil mengantar. Dua anaknya terlihat sangat ceria, sepertinya belum mengerti keadaaan ayahnya. Keesokan pagi, sang ayah meninggal, si anak pun masih tetap ceria bermain, sambil mengucapkan bila boss (ayahnya) sedang sakit..

Satu keluarga lagi, keturunan Arab, yang dirawat adalah Ibu mereka, usianya masih muda, 40an tahun, dalam kondisi tidak sadar, terkena serangan darah tinggi, sehingga pembuluh darah di otaknya ada yang pecah. Keluarganya banyak menunggu diluar, tidak juga banyak bercerita pada kami. Beberapa hari kemudian, aku dengar pasien sudah keluar dari ruang ICU, entah lulus atau kemana…

Dan yang paling dekat adalah keluarga Teh Yenny, suaminya dirawat hampir selama ibu dirawat. Usianya masih muda dan baru memiliki satu anak. Hmm.. mungkin aku tidak setegar dirinya bila itu terjadi padaku. Karena tepat di awal Ramadhan, sang suami dipanggil menghadap Alloh SWT, masih berusia 33 tahun.

Setelah itu aku hampir tidak lagi mengenal keluarga pasien, semua terasa asing. Apalagi seminggu kemudian ibu mengalami kritis kemudian koma dan tidak sadar lagi.

***

Selama menunggu Ibu ini, aku memang tidak full sehari semalam, biasanya aku datang dari kantor jam 11 siang (untuk mengejar jam besuk yang jam 12.00) kemudian pulang jam 20-21an setelah jam besuk kedua, begitu setiap hari. Alhamdulillah mendapat kemudahan dari kantor untuk datang hanya dari pagi hingga jam 11 siang. Kakak pertamaku lah yang menjaga dari pagi dan mendapat giliran membeli obat, dan kadang bertemu dokter. Kecuali sabtu minggu, aku bisa ikut membeli obat.

Bila ada pilihan aku ingin segera men-skip masa ini. Terlalu perih dilalui, pelan-pelan dan menyakitkan. Aku dipaksa untuk tetap tegar dan logis menghadapi kenyataan dan mengambil langkah terbaik untuk ibu, padahal airmata ini sudah terbendung lama dan tertahan di dada, apalagi godaan untuk putus asa selalu datang. Doa bisa menenangkan, dukungan saudara dan teman-teman juga membantu tapi tidak lama. Aku tetap sakit.

Kemudian aku berpikir, di hidupku yang normal, saat menjalani aktivitas seperti biasa, menunggu bis, menunggu jemputan, menjalani hal-hal menyenangkan, tak terpikirkan disini ada segelintir orang yang sedang menunggu, setia menunggu sesuatu yang mungkin akan menyakitkan, menunggu ketentuan Alloh SWT malaikat Izrail mencabut dan membawa nyawa orang-orang yang mereka sayangi, menjalani siklus kegiatan tidak seperti biasanya, memiliki tabungan air mata atau bahkan sudah kering sama sekali.
Kematian begitu ramah disini, nyata, lewat begitu saja dan terlihat biasa. Baik untuk lebih dekat dan semakin menggantungkan diri pada Alloh SWT.

Setiap kerabat yang datang, hampir semua berkomentar, bila tiba masanya nanti, mereka tidak ingin merepotkan keluarga, tidak ingin dirawat begitu lama di rumah sakit, ia ingin langsung mati saja. Hah, seperti menyalahkan ibu ...

Ibu sama sekali tidak merepotkan kami. biaya yang dikeluarkan adalah dari uang ibu sendiri, waktu dan tenaga yang digunakan untuk menunggu pun anggaplah balas jasa atas pengorbanan ibu yang tidak akanpernah bisa kami balas. Dan sekali lagi ibu tidak perlu merasa merepotkan, kami persembahkan sebagai tanda cinta kami pada Ibu, paling tidak untuk yang terakhir kali di masa hidupnya.

Kita tidak pernah tahu bagaimana kematian akan menyapa, cepat atau lambat, dirumah sakit atau bukan, dan dengan cara apapun…  jadi  anggaplah semua yang dilakukan keluarga adalah yang terbaik buat kita dan wujud kasih sayang mereka…