Sabtu, 02 April 2011

menunggu kehilangan

Tak akan ada yang bisa lepas dari kematian, misterinya hanya Alloh yang Tahu dan Maha Menentukan.  Kita pasti akan bertemu dengan kematian, entah kapan dan dengan cara apa. Bila belum bertemu dengan kematian, bisa jadi kita akan berhadapan dengan kematian orang-orang terdekat yang kita cintai. Sehingga meninggalkan dan ditinggalkan adalah hal biasa dalam hidup, yang terpenting adalah mengisi bekal terbaik untuk kehidupan setelah kematian.

Aku termasuk orang yang paham teori ini, sudah lama… tapi tak mengira bila harus aku yang mengalami kejadian ini.  Sampai ditinggal Ibu, 1,5 tahun yang lalu, hampir tak percaya, tak sadar dan hampir tak bisa menerima kenyataan bila kematian tidak milik orang lain saja, aku juga…

Agustus 2009, awal mulai mengerti pelajaran kematian ini. Saat itu aku harus berada di rumah sakit dan ruangan bernama Ruang Tunggu ICU. Hari pertama datang aku hanya menangis melihat ibu didorong  tak berdaya diatas ranjang dengan berbagai selang dipasang di tubuhnya untuk kemudian masuk ke ruang ICU, kami tidak boleh masuk. Aku dan keluarga, hanya menangis sambil sesekali dihibur oleh kerabat yang datang. Aku melihat di selasar lorong banyak keluarga penunggu pasien, karena tidak muat lagi berada di dalam ruang tunggu. Setiap keluarga hanya dibatasi tas atau perbedaan alas duduk. Aku melihat mereka yang kebingungan melihat kami yang sedang histeris, seakan-akan mereka tahu apa yang aku rasakan dan mengatakan “selamat datang di dunia nyata ini, sayang…”

Karena jam besuk yang terbatas (jam 12-13 dan jam 19-20) dan ada panggilan sewaktu-waktu dari petugas medis maka kami sekeluarga harus siaga dan bergantian menunggu diluar ruang ICU. Akhirnya kamipun menjadi bagian dari barisan selasar rumah sakit. Kami menggelar tikar panjang, ada tas sebagai bantal, jaket, minum dan sedikit makanan. Pada satu waktu kami bisa saja maju beberapa petak porselen karena ada keluarga pasien yang pindah atau bahkan mengangkat seluruh perangkat karena ada razia dari manajemen rumah sakit.

Dari pengalaman ini aku baru mengerti apa yang dimaksud ruang ICU itu, telat ya… boleh dikatakan, ICU ini ruang yang paling menegangkan, semua perawat difungsikan maksimal, karena kekritisan kondisi pasien, sedang disebelahnya ada ruang Intermediate ICU (lupa apa sebutannya), pasien yang dirawat lebih ringan tingkat kekritisannya dan boleh dijenguk keluarga tanpa dibatasi jam, kecuali pengunjung non penunggu tentu saja dan... pasien yang dirawat masih  memiliki tingkat kesadaran yang lebih baik dari pasien ICU.

Hari-hari pertama aku berada disana, ada kejadian yang membuat aku kaget.. tiba-tiba ada ranjang keluar dari ruang ICU, pasien ditutup selimut, meninggal. Keluarga sebelahku berbisik.. “itu pasien di bangsal sekian.. iya, yang sakit…, sudah beberapa hari..hhuuufftt..” tak lama kemudian kami bergeser pindah tempat karena ada keluarga yang pergi dan membereskan peralatannya, rupanya keluarga pasien yang meninggal tadi.

Semakin lama, hal ini menjadi kebiasaan. Semua keluarga penunggu yang berada disana, harus bersiap dengan panggilan perawat yang mendadak, karena bisa jadi pasien dalam keadaan kritis. Sedangkan kami tak perlu khawatir bila dipanggil pada jam-jam tertentu yang dipanggil untuk diberi resep obat, yaitu sekitar jam 7.30 pagi atau jam 20.00 malam bila ada panggilan konsultasi dokter.  Selain jam-jam tersebut, kami hanya saling beradu pandang bila ada nama pasien yang disebut untuk memanggil keluarganya…

Pada saat jam besuk dibuka, seluruh keluarga telah mengantri di depan pintu ruangan dan mengambil baju khusus, rebutan pula. Dua jam perhari itu sangat kami manfaatkan untuk bertemu Ibu. Mengajaknya ngobrol, mendoakan atau sekedar memeluk dan menyentuhnya. Kadang ada perasaan enggan untuk masuk, kami tidak bisa menerima kenyataan melihat ibu tersiksa. Tubuhnya dingin, dipasang alat bantu pernafasan, belasan infuse dan bengkak di beberapa bagian. Namun. Inilah yang harus dihadapi, siapa yang akan menemui Ibu jika bukan kami, aku mencoba tegar dan terlihat biasa saat berkomunikasi dengan ibu, walau hati ini terasa pedih tersayat. Sedang kakakku kadang tidak sanggup, melihat ibu hanya menangis, lalu keluar, karena tidak ingin ibu melihat kami sedih lalu pesimis.

Di rumah malam harinya, aku selalu memikirkan ibu menanggung rasa sakitnya, sedang aku tidur dan makan dengan nyaman. Saat itu aktivitasku terasa hampa, tak bermakna, semua seperti berpura-pura. Makan terasa sakit di tenggorokan, kulit kering, sariawan dan tidak ada semangat kecuali untuk segera menemui Ibu.

Semakin lama, kami semakin akrab dengan sesama keluarga penunggu. Terutama yang memiliki masa tunggu yang sama. Posisinya semakin bergeser mendekat. Keakraban kadang diselingi canda, namun tetap miris, seperti terpaksa. Membicarakan keuangan dan biaya yang mahal, dan entah darimana kami mengusahakannya namun ada saja rezeki tersebut, yang dicandakan bahwa “uang yang ada dan bertebaran diruang tunggu ini tak akan hilang diambil, karena beraroma infuse dan obat…” , juga membicarakan keluarga dan kesehatan pasien masing-masing, ini yang biasanya membuat iri hati. Aku iri terhadap satu keluarga yang menunggu ayahnya di Intermediate, huuhh… sang ayah mengalami pendarahan di otak, diduga karena fisiknya terlalu lelah, kemungkinan karena ia adalah guru olahraga.

Diumpamakan pula istilah naik kelas/naik pangkat, yaitu bila pasien Intermediate berhasil pindah ke rawat jalan, atau pasien ICU berhasil pindah ke Intermediate atau langsung ke rawat jalan. Iri. Sedang Ibu termasuk pasien yang menghuni lama di dalam ruang ICU, kurang lebih 28hari.

Berbagai macam keluarga aku temui, banyak pelajaran berharga mengenai perhatian, kasih sayang, kesedihan dan pengorbanan keluarga.  Kami semua merasakan berada dalam kondisi ketidakjelasan dan terombang-ambing, namun tidak boleh lemah atau sakit. Seperti berdiri tegak sambil diiris-iris.

Satu waktu, pasien sebelah ibu, yang dalam keadaan koma, akhirnya meninggal dunia, seorang laki-laki keturunan, saat jam besuk aku sering melihat banyak pendeta (atau rahib ya? ) yang datang untuk mendoakan bapak itu. Keluarganya pun terlihat siap dengan kematiannya, ada yang mengatakan ingin segera berbagi warisan, namun aku pikir keluarga sudah pasrah karena sudah lama koma, sehingga terlihat biasa saja.

Lalu ada seorang laki-laki berusia 45an tahun. Tersenyum indah, istrinya lulus masuk ke rawat jalan. Ia bercerita istrinya memang sering sesak mendadak dan beberapa kali masuk keluar ruang ICU, namun Alhamdulillah menurut dokter kali ini bisa pindah ke ruang perawatan, semoga tidak masuk ke ruang menyeramkan ini lagi.

Penunggu disebelahku ada beberapa anak muda, katanya menunggu paman mereka yang organ pencernaannya sudah tak berfungsi, entah apa, aku pun kurang paham, sehingga diperlukan alat bantu. Sang Paman pun sudah dirawat lebih dahulu daripada Ibu. Tak berapa lama ia pun meninggal.

Kemudian ada pula seorang anak, mungkin usianya baru 12-13 tahun. Masuk ruang ICU karena kecelakaan motor, tidak memakai helm dan melawan arus. Kepalanya diperban dan memakai alat bantu pernafasan. Sang Ibu yang mendampinginya, tidak banyak berbicara pada kami, wajahnya terlihat tegang dan bingung. Yang aku dengar, suami nya belum lama meninggal dan ia masih memiliki satu anak lagi. Beberapa hari kemudian anak itu meninggal, sang ibu sering kali terlihat ada di tangga darurat, merokok.

Satu malam ada lagi seorang laki-laki masuk ke ruang ICU, di ruang ventilasi, keluarganya seorang perempuan ( istri ) dan dua anaknya yang masih kecil mengantar. Dua anaknya terlihat sangat ceria, sepertinya belum mengerti keadaaan ayahnya. Keesokan pagi, sang ayah meninggal, si anak pun masih tetap ceria bermain, sambil mengucapkan bila boss (ayahnya) sedang sakit..

Satu keluarga lagi, keturunan Arab, yang dirawat adalah Ibu mereka, usianya masih muda, 40an tahun, dalam kondisi tidak sadar, terkena serangan darah tinggi, sehingga pembuluh darah di otaknya ada yang pecah. Keluarganya banyak menunggu diluar, tidak juga banyak bercerita pada kami. Beberapa hari kemudian, aku dengar pasien sudah keluar dari ruang ICU, entah lulus atau kemana…

Dan yang paling dekat adalah keluarga Teh Yenny, suaminya dirawat hampir selama ibu dirawat. Usianya masih muda dan baru memiliki satu anak. Hmm.. mungkin aku tidak setegar dirinya bila itu terjadi padaku. Karena tepat di awal Ramadhan, sang suami dipanggil menghadap Alloh SWT, masih berusia 33 tahun.

Setelah itu aku hampir tidak lagi mengenal keluarga pasien, semua terasa asing. Apalagi seminggu kemudian ibu mengalami kritis kemudian koma dan tidak sadar lagi.

***

Selama menunggu Ibu ini, aku memang tidak full sehari semalam, biasanya aku datang dari kantor jam 11 siang (untuk mengejar jam besuk yang jam 12.00) kemudian pulang jam 20-21an setelah jam besuk kedua, begitu setiap hari. Alhamdulillah mendapat kemudahan dari kantor untuk datang hanya dari pagi hingga jam 11 siang. Kakak pertamaku lah yang menjaga dari pagi dan mendapat giliran membeli obat, dan kadang bertemu dokter. Kecuali sabtu minggu, aku bisa ikut membeli obat.

Bila ada pilihan aku ingin segera men-skip masa ini. Terlalu perih dilalui, pelan-pelan dan menyakitkan. Aku dipaksa untuk tetap tegar dan logis menghadapi kenyataan dan mengambil langkah terbaik untuk ibu, padahal airmata ini sudah terbendung lama dan tertahan di dada, apalagi godaan untuk putus asa selalu datang. Doa bisa menenangkan, dukungan saudara dan teman-teman juga membantu tapi tidak lama. Aku tetap sakit.

Kemudian aku berpikir, di hidupku yang normal, saat menjalani aktivitas seperti biasa, menunggu bis, menunggu jemputan, menjalani hal-hal menyenangkan, tak terpikirkan disini ada segelintir orang yang sedang menunggu, setia menunggu sesuatu yang mungkin akan menyakitkan, menunggu ketentuan Alloh SWT malaikat Izrail mencabut dan membawa nyawa orang-orang yang mereka sayangi, menjalani siklus kegiatan tidak seperti biasanya, memiliki tabungan air mata atau bahkan sudah kering sama sekali.
Kematian begitu ramah disini, nyata, lewat begitu saja dan terlihat biasa. Baik untuk lebih dekat dan semakin menggantungkan diri pada Alloh SWT.

Setiap kerabat yang datang, hampir semua berkomentar, bila tiba masanya nanti, mereka tidak ingin merepotkan keluarga, tidak ingin dirawat begitu lama di rumah sakit, ia ingin langsung mati saja. Hah, seperti menyalahkan ibu ...

Ibu sama sekali tidak merepotkan kami. biaya yang dikeluarkan adalah dari uang ibu sendiri, waktu dan tenaga yang digunakan untuk menunggu pun anggaplah balas jasa atas pengorbanan ibu yang tidak akanpernah bisa kami balas. Dan sekali lagi ibu tidak perlu merasa merepotkan, kami persembahkan sebagai tanda cinta kami pada Ibu, paling tidak untuk yang terakhir kali di masa hidupnya.

Kita tidak pernah tahu bagaimana kematian akan menyapa, cepat atau lambat, dirumah sakit atau bukan, dan dengan cara apapun…  jadi  anggaplah semua yang dilakukan keluarga adalah yang terbaik buat kita dan wujud kasih sayang mereka…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar